Lingkungan Rusak Parah, Tapi Kenapa Kita Masih Diam Saja?

Kerusakan Lingkungan

Kita hidup di tengah dunia yang sedang berteriak. Suhu bumi meningkat drastis, hujan turun tak menentu, hutan dibabat habis, laut dipenuhi plastik, udara tercemar, dan spesies-spesies pun satu per satu punah. Menurut https://dlhbangkabelitung.id/, sinyal kerusakan lingkungan semakin jelas dari tahun ke tahun. Namun ironisnya, sebagian besar dari kita justru… diam saja.

Lingkungan Rusak Parah

Pertanyaannya: kenapa? Apakah kita tidak peduli? Tidak tahu? Atau terlalu sibuk dengan rutinitas harian hingga lupa bahwa bumi tempat kita berpijak sedang dalam kondisi kritis? Artikel ini mencoba mengungkap alasan-alasan di balik sikap pasif kita terhadap kerusakan lingkungan, serta bagaimana cara mengubah sikap diam itu menjadi tindakan nyata.

1. Karena Kerusakan Lingkungan Tidak Terlihat Langsung

Berbeda dengan bencana yang datang tiba-tiba dan menghebohkan, kerusakan lingkungan sering kali berjalan pelan dan diam-diam. Suhu bumi naik 1–2 derajat tidak terasa dalam satu hari. Tapi dalam jangka waktu 10–20 tahun, dampaknya luar biasa: gagal panen, kekeringan, kebakaran hutan, krisis air, dan peningkatan penyakit.

Sayangnya, karena efeknya tidak langsung terlihat di depan mata, banyak orang cenderung mengabaikannya.

Contoh: Kita merasa udara di kota masih “aman-aman saja”, padahal sudah melewati ambang batas WHO untuk polusi. Kita menganggap banjir hanya karena hujan deras, padahal sistem drainase rusak karena sampah yang kita buang setiap hari.

2. Karena Merasa Tidak Berdampak Langsung

Banyak orang berpikir, “Saya cuma satu orang, apa yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan bumi?” Atau “Ah, yang merusak kan industri besar, bukan saya.”

Mentalitas ini sangat berbahaya karena menumpulkan tanggung jawab pribadi terhadap lingkungan. Bayangkan jika satu orang membuang satu kantong plastik ke sungai, lalu satu juta orang berpikiran sama. Dampaknya sangat besar!

Padahal faktanya: Perubahan nyata dimulai dari gerakan kecil yang dilakukan oleh banyak orang secara konsisten.

3. Karena Lebih Mementingkan Kenyamanan Pribadi

Mengubah gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan sering kali dianggap merepotkan. Membawa tas belanja sendiri, memilah sampah, menanam pohon, atau mengurangi konsumsi daging adalah hal-hal yang dianggap mengganggu kenyamanan.

Kita lebih suka yang cepat, praktis, dan murah—meskipun itu artinya menggunakan plastik, membeli barang sekali pakai, atau makan makanan cepat saji dari bahan tak ramah lingkungan.

Nyatanya: Kenyamanan jangka pendek yang kita nikmati saat ini bisa berujung pada ketidaknyamanan jangka panjang: udara kotor, air tercemar, cuaca ekstrem, dan bencana ekologis lainnya.

4. Karena Kurangnya Edukasi dan Informasi

Banyak orang belum benar-benar memahami sejauh apa kerusakan lingkungan yang terjadi dan apa penyebabnya. Di sekolah, edukasi tentang lingkungan sering kali hanya sebatas teori dan kurang menyentuh aspek praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Media pun sering lebih tertarik membahas gosip selebriti daripada kondisi hutan yang terbakar atau laut yang tercemar.

Akibatnya, masyarakat tidak memiliki kesadaran yang cukup untuk bertindak. Bahkan ada yang menganggap isu lingkungan sebagai “hal sepele” atau “urusan aktivis saja”.

5. Karena Tidak Ada Tekanan Sosial atau Kebijakan yang Tegas

Sikap pasif terhadap lingkungan juga dipicu oleh lemahnya tekanan sosial. Di banyak tempat, masih jarang orang dipuji karena hemat listrik atau dipuji karena memilah sampah. Bahkan kadang justru dianggap aneh.

Di sisi lain, regulasi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan masih minim. Pelaku pembakaran hutan bisa bebas. Pabrik pembuang limbah ke sungai jarang dikenai sanksi. Tanpa contoh dari atas, masyarakat pun tidak merasa perlu berubah.

6. Karena Menganggap Itu Bukan Tanggung Jawab Kita

Ada anggapan bahwa menjaga lingkungan adalah tugas pemerintah, LSM, atau aktivis saja. Padahal, setiap individu adalah bagian dari sistem kehidupan yang saling terhubung. Lingkungan bukan sesuatu yang terpisah dari hidup kita—lingkungan adalah rumah kita.

Jika rumah sendiri rusak, akankah kita hanya diam?

Saatnya Berhenti Diam dan Mulai Bertindak

Kesadaran adalah awal dari perubahan. Tapi kesadaran tanpa tindakan hanyalah wacana. Untuk benar-benar melindungi lingkungan, kita harus berani keluar dari zona nyaman dan mengubah kebiasaan—sekecil apa pun itu.

Berikut adalah beberapa langkah nyata yang bisa kita lakukan:

  • Kurangi konsumsi barang-barang yang tidak perlu
  • Gunakan transportasi umum atau sepeda untuk jarak dekat
  • Hemat air dan listrik di rumah
  • Pisahkan sampah dan dukung program daur ulang
  • Tanam pohon atau tanaman hijau di sekitar rumah
  • Gunakan produk lokal, organik, dan ramah lingkungan
  • Sebarkan kesadaran melalui media sosial dan lingkungan sekitar

Jadilah Contoh, Bukan Penonton

Perubahan tidak butuh orang banyak, cukup satu orang yang konsisten dan menginspirasi orang lain. Jadilah orang itu. Di kantor, di sekolah, di lingkungan rumah, tunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukan hal sulit atau merepotkan.

Ajarkan anak untuk mencintai alam. Ajak teman memilah sampah. Gunakan media sosial Anda untuk menyebarkan kepedulian.

Ingat, bumi ini tidak hanya diwariskan dari generasi sebelumnya, tapi juga dipinjam dari anak cucu kita kelak.

Penutup: Diam Bukan Lagi Pilihan

Lingkungan kita rusak. Itu fakta. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah banyaknya orang yang tahu namun memilih diam.

Mengutip https://dlhbangkabelitung.id/, sekarang bukan lagi waktunya netral. Diam adalah sikap yang membiarkan kerusakan terus terjadi. Saatnya bergerak, mulai dari rumah, mulai dari diri sendiri.

Bumi hanya satu. Jika kita tidak menjaganya, siapa lagi?

About the Author: Kanal Cerdas

Kami percaya bahwa pengetahuan adalah kunci kecerdasan, dan kami berusaha untuk menjadi sumber yang Anda andalkan dalam menjelajahi berbagai topik yang menarik dan relevan.

Anda mungkin suka ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *